Bandara dan Penerbangan yang Tertunda

 


AWAL Desember kemarin sebetulnya aku juga bertemu, Key. Hanya sebentar. Meski sebentar terasa sangat berarti. Kebetulan aku harus ke Jakarta, dan Key sedang mulai memasukkan lamaran lagi ke salah satu maskapai penerbangan. Dulu sebenarnya dia sudah menjadi pramugari atau bahasa kerennya flight attendant (FA) di Lion Air, setelah habis masa kontrak kerja pertama atau sekitar 2 tahun kerja, dia memutuskan untuk istirahat dulu.

Ah aku jadi ingat, bagaimana kami bertemu dulu. Perempuan dengan pipi sedikit berisi, rambut dicepol, berjalan anggun dengan menyeret koper. Sepertinya Ia baru saja selesai bertugas.

Satu hal yang membuatku langsung suka, selain matanya teduh, juga lehernya yang ngolan-ngolan alias berbuku-buku.

Lalu entah bagaimana bisa, Mas Danang, Corporate Communications Strategic Lion Air Group yang kebetulan sedang bersamaku di salah satu foodcourt tak jauh dari pintu kedatangan, tiba-tiba memanggil seseorang.

"Key!"

Ya, dia dipanggil, Key. Dan yang menoleh ternyata pramugari yang sedari tadi kuperhatikan. Jadi malu, Mas Danang sepertinya melihat sewaktu aku memperhatikannya.

Dia tersenyum lalu mendekat pada kami.

"Iya, Mas." katanya setelah di hadapan kami.

"Kamu sudah selesai tugas?" tanya Mas Danang.

"Iya nih, Mas. Ada yang bisa saya bantu," jawabnya lembut.

"Kenalin, ini Mas Aji." Kami, aku dan perempuan itu bersalaman dan saling menyebut nama.

Nama panjangnya, cukup aku saja yang tahu. Dia dipanggil Key.

"Jadi Key, Mas Aji ini kebetulan sedang ada kegiatan di sini. Nah, besok rencananya dia mau ke Sentiong, mau beli sesuatu. Bisa minta tolong anterin? Soalnya besok aku ada kegiatan. Cuma sebentar kok, palingan di sana cuma setengah jam terus pulang. Gimana?" tiba-tiba Mas Danang membuat sesuatu yang aku tak mengerti.

Aku bengong saja.

"Iya siap, Mas. Besok saya temenin."

"Beneran bisa? Besok nggak ke mana-mana?" tanya Mas Danang.

"Enggak, Mas. Memang mau nginep di Balaraja dan nggak ke mana-mana. Lagian Sentiong kan dekat dari mess," Key meyakinkan Mas Danang.

"Kalau begitu kalian tukeran nomer WA. Atau gini aja, nanti nomer WA Mas Aji aku kirim ke kamu, trus nomer kamu kirim ke Mas Aji. Oke ya?" 

"Iya, Mas. Itu aja?"

"Iya. Makasih ya,"

"Kalau gitu aku ke mess dulu. Sampai besok ya." kata Key, tersenyum manis, manis sekali, lalu menyeret kopernya dengan anggun.


***

"Tadi apa sih, Mas?" aku mulai bertanya pada Mas Danang.

"Sampeyan lihatnya kayak kagum gitu. Jadi aku panggilin sekalian biar kenalan. Udah besok sampeyan kenalan, beli apa kek di sana. Habis itu ajak makan atau apa kalau dia mau," katanya sambil ketawa.

"Aduh aku mesti ngapain besok. Kan besok jadwalku kembali ke Malang."

"Ya tunda sehari kan bisa," 

Aku mulai mikir alasan ke kantor agar bisa berangkat lusa saja. Sepertinya aku harus menunda penerbangan untuk tak melewatkan kesempatan ini.


***

Tentang perempuang berleher ngolan-olan, aku pernah mendengar cerita banyolan Paklik Wiguno sewaktu sedang di Jogja.

Sore itu, samar-samar aku mendengar cerita Paklik Wiguno. Dia lagi serius bercerita soal ciri perempuan. Kalau saja aku terlihat tidak mendengarkan, pasti dia ngomel.

"Le awakmu ngerti ora, wedhok gulune ngolan-olan?" Kurang lebih begini artinya "Le, kamu tahu nggak, perempuan dengan leher ngolan-olan?" 

Aku yang tidak paham dengan sebutan itu hanya menoleh melihatnya dan menggeleng, lalu kembali membaca-baca postingan di Facebook. Meski orang Jawa, tapi aku baru pertama kali mendengar istilah itu.

"Le," Lik Wiguno berhenti sebentar lalu lanjut menjelaskan.

"Perempuan dengan leher ngolan-olan itu artinya, perempuan dengan garis leher, antara 2-3 garis. Olan-olan itu sejenis larva atau ulat kayu. Jadi kalau lehernya berbuku-buku, kuwi ngrejekeni, Le. Alias membawa rejeki," katanya.

"Lha trus sing ora ngolan-olan piye, Lik?" tanyaku.

"Yo panggah ngrejekeni, ning saiki aku nggolek meneh, sing gulune ngolan-olan," katanya sambil terpingkal-pingkal.

"Aseem."

***

Key tak hanya sekedar punya leher ngolan-olan. Tapi dia juga menawan.

______________________

Selamat malam, Kisanak. Pernahkah engkau begitu suka di pandangan pertama?