"Hal paling menyedihkan itu, ketika perjuangan kita ternyata sia-sia dan menjadi tidak penting lagi"
Postingan ini begitu saja meluncur.
Kamu ingat, Kei? Saat itu kita sedang ribut besar. Kita tiba-tiba saja saling tak berkabar. Aku masih mengingat saat itu aku sedang cemburu. Kamu tahu itu, lalu bergegas memburuku.
"Gak ada yang sia-sia kok,"
Aku hanya menjawab dengan smile saja ":)"
Perempuan memang perasa. Mereka tahu bagaimana hati pasangannya masih sesak penuh cemburu. Dan kamu paling mengerti itu, Kei.
"Manusia gila, aku maunya kamu di sini. Nggak mau jauh-jauhan,"
Ya, begitu saja katamu, sudah membuatku meleleh. Cemburuku tiba-tiba berselimut rindu, sesak, seperti ada satu, dua, tiga ekor gajah yang bergelayutan di leher.
Rinduku masih tak bertepi, Kei. Hanya selimut berdua yang selalu menenangkanku. Di sana kamu begitu lembut. Berpagut rindu kita yang menggunung.
Hingga suatu hari kamu mengirimkan pesan di whatsapp.
"Kapan kamu pulang? Kamu nggak kangen selimut kita? Selimut besar berdua,"
"Aku rindu, Kei. Rindu kamu yang acakadut,"
"Aku acakadut saja kamu rindu, bagaimana rapiku,"
"Aku tak suka rapimu, aku suka acakadutmu,"
"Hahah... Kamu gombal! Cepetan pulang :("
Maafkan aku, Kei. Aku yang terkadang tiba-tiba disorientasi pada cita-cita kita hanya karena cemburu. Maafkan aku yang terkadang khawatir, yang menurutmu berlebihan. Meski sudah sepantasnya aku mencemaskanmu.
"Terima kasih, Kei. Kamu bahagia menunggu?"
"Apa pun itu, kekasih gilaku. Selimut besar ini hanya akan ada kita,"
Selamat pagi, Kei. Jangan begadang mulu. Meski selimut besar berdua selalu ada, jangan lupa pasang kaus kaki. Aku tak ingin kakimu sakit lagi karena dingin.